kumpulan puisi karya chairil anwar tentang cinta

Konten [Tampil]

    kumpulan puisi karya chairil anwar tentang cinta



    Puisi WS Rendra- W.S. Rendra yang memiliki nama asli Willibrordus Surendra Broto Rendra adalah seorang sastrawan berkebangsaan Indonesia yang lahir di Solo, Hindia Belanda, 7 November 1935 dan meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun. Sejak masih muda beliau sudah sering menulis puisi, skenario drama, menulis cerpen, dan esai sastra di media massa.

    https://academy.autodesk.com/users/superlinkmail100

    https://social.microsoft.com/Profile/Blog%20Blogger

    https://blogger2.bandcamp.com/releases

    https://disqus.com/by/enzio_auditore/about/ 



    Beliau adalah penyair ternama yang kerap dijuluki dengan sebutan "Burung Merak". Rendra juga orang yang telah mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan telah melahirkan banyak seniman terkenal. Seperti Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi dan lain-lain. Namun Bengkel Teater itu akhirnya kocar kacir karena tekanan politik dan Rendra memindahkannya ke Depok pada tahun 1985.

    puisi karya chairil anwar tentang cinta

    Nah, bagi kalian yang sedang mencari puisi karya WS Rendra yang melegenda. Kami sudah menyiapkan 41 kumpulan puisi lengkap yang bisa kalian serap makna disetiap baitnya yang dalam. Berikut Puisi Karya WS Rendra.

    Baca Juga  1. 150 Kumpulan Puisi Cinta Romantis, Sedih, Rindu, Galau Terbaik
    2. 76+ Kumpulan Puisi Karya Chairil Anwar
    3. 33 Kumpulan Puisi Karya Taufik Ismail yang Melegenda
    4. 39+ Kumpulan Puisi Karya Kahlil Gibran
    5. 31 Kumpulan Puisi Karya Sapardi Djoko Damono

    puisi karya chairil anwar
    (W.S. Rendra)Jakarta, Juli 1992
    Ma, bukan maut yang menggetarkan hatikutetapi hidup yang tidak hidupkarena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnyaada malam-malam aku menjalani lorong panjangtanpa tujuan kemana-manahawa dingin masuk kebadanku yang hampapadahal angin tidak adabintang-bintang menjadi kunang-kunangyang lebih menekankan kehadiran kegelapantidak ada pikiran, tidak ada perasaan, tidak ada suatu apaHidup memang fana, Matetapi keadaan tak berdaya membuat diriku tidak adakadang-kadang aku merasa terbuang ke belantaradijauhi Ayah Bunda dan ditolak para tetanggaatau aku terlantar di pasaraku bicara tetapi orang-orang tidak mendengarmereka merobek-robek buku dan menertawakan cita-citaaku marah, aku takut, aku gemetarnamun gagal menyusun bahasaHidup memang fana,Maitu gampang aku terimatetapi duduk memeluk lutut sendirian di savanamembuat hidupku tak ada harganyakadang-kadang aku merasa ditarik-tarik orang kesana kemarimulut berbusa sekadar karena tertawahidup cemar oleh basa basidan orang-orang mengisi waktu dengan pertengkaran edanyang tanpa persoalanatau percintaan tanpa asmaradan sanggama yang tidak selesaiHidup memang fana tentu saja, Matetapi akrobat pemikiran dan kepalsuan yang dikelolamengacaukan isi perutku lalumendorong aku menjeri-jeritsambil tak tahu kenaparasanya setelah mati berulang kaliTak ada lagi yang mengagetkan dalam hidup iniTetapi Ma, setiap kali menyadari adanya kamu di dalam hidupku iniaku merasa jalannya arus darah di sekujur tubuhkuKelenjar-kelenjarku bekerjasukmaku bernyanyi, dunia hadircicak di tembok berbunyitukang kebun kedengaran berbicara pada putranyahidup menjadi nyata, fitrahku kembaliMengingat kamu Ma, adalah mengingat kewajiban sehari-harikesederhanaan bahasa prosa, keindahan isi puisikita selalu asyik bertukar pikiran ya Ma?masing-masing pihak punya cita-citamasing-masing pihak punya kewajiban yang nyataHai Ma!apakah kamu ingataku peluk kamu di atas perahuketika perutmu sakit dan aku tenangkan kamudengan ciuman-ciuman di lehermu?Masyaallah..aku selalu kesengsem pada bau kulitmuIngatkah waktu itu aku berkatakiamat boleh tiba, hidupku penuh maknaHehehe waahh..aku memang tidak rugi ketemu kamu di hidup inidan apabila aku menulis sajakaku juga merasa bahwa kemaren dan esokadalah hari iniBencana dan keberuntungan sama sajaLangit di luar, langit di badan bersatu dalam jiwaSudah ya, Ma­

    Puisi 2 : Maskumambang (W.S. Rendra) Cipayung Jaya, 4 April 2006
    Kabut fajar menyusut dengan perlahan.Bunga bintaro bergugurandi halaman perpustakaan.Di tepi kolam,di dekat rumpun keladi,aku duduk di atas batu,melelehkan air mata.
    Cucu-cucuku!Zaman macam apa, peradaban macam apa,yang akan kami wariskan kepada kalian!Jiwaku menyanyikan tembang maskumambang.
    Kami adalah angkatan pongah.Besar pasak dari tiang.Kami tidak mampu membuat rencanamanghadapi masa depan. puisi karya chairil anwar
    Karena kami tidak menguasai ilmuuntuk membaca tata buku masa lalu,dan tidak menguasai ilmuuntuk membaca tata buku masa kini,maka rencana masa depanhanyalah spekulasi keinginandan angan-angan.
    Cucu-cucuku!Negara terlanda gelombang zaman edan.Cita-cita kebajikan terhempas waktu,lesu dipangku batu.
    Tetapi aku keras bertahanmendekap akal sehat dan suara jiwa,biarpun tercampak di selokan zaman.
    Bangsa kita kini seperti daduterperangkap di dalam kaleng utang,yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa,tanpa kita berdaya melawannya.Semuanya terjadi atas nama pembangungan,yang mencontoh tatanan pembangunandi zaman penjajahan.
    Tatanan kenegaraan,dan tatanan hukum,juga mencontoh tatanan penjajahan.Menyebabkan rakyat dan hukumhadir tanpa kedaulatan.Yang sah berdaulathanyalah pemerintah dan partai politik.
    O, comberan peradaban!O, martabat bangsa yang kini compang-camping!
    Negara gaduh.Bangsa rapuh.Kekuasaan kekerasan merajalela.Pasar dibakar.Kampung dibakar.Gubuk-gubuk gelandangan dibongkar.Tanpa ada gantinya.Semua atas nama takhayul pembangunan.Restoran dibakar.Toko dibakar.Gereja dibakar.Atas nama semangat agama yang berkobar.
    Apabila agama menjadi lencana politik,maka erosi agama pasti terjadi!Karena politik tidak punya kepala.Tidak punya telinga. Tidak punya hati.Politik hanya mengenal kalah dan menang.Kawan dan lawan.Peradaban yang dangkal.
    Meskipun hidup berbangsa perlu politik,tetapi politik tidak boleh menjamahruang iman dan akaldi dalam daulat manusia!
    Namun daulat manusiadalam kewajaran hidup bersama di dunia,harus menjaga daulat hukum alam,daulat hukum masyarakat,dan daulat hukum akal sehat.
    Matahari yang merayap naik dari ufuk timurtelah melampaui pohon jinjing.Udara yang ramah menyapa tubuhku.Menyebar bau bawang goreng yang digoreng di dapur.Berdengung sepasang kumbangyang bersenggama di udara.Mas Willy! istriku datang menyapaku.Ia melihat pipiku basah oleh air mata.Aku bangkit hendak berkata.Sssh, diam! bisik istriku,Jangan menangis. Tulis sajak.Jangan bicara.
    Puisi 3 : Sajak Sajak Cinta (W.S. Rendra)
    Setiap ruang yang tertutup akan retakkarena mengandung waktu yang selalu mengimbangiDan akhirnya akan meledakbila tenaga waktu terus terhadang
    Cintaku kepadamu JuwitakuIkhlas dan sebenarnyaIa terjadi sendiri, aku tak tahu kenapaAku sekedar menyadari bahwa ternyata ia ada
    Cintaku kepadamu JuwitakuKemudian meruang dan mewaktudalam hidupku yang sekedar insan
    Ruang cinta aku berdayakantapi waktunya lepas dari jangkauanSekarang aku menyadariusia cinta lebih panjang dari usia percintaanKhazanah budaya percintaan­pacaran, perpisahan, perkawinantak bisa merumuskan tenaga waktu dari cinta
    Dan kini syairku iniApakah mungkin merumuskan cintaku kepadamu
    Syair bermula dari kata,dan kata-kata dalam syair juga meruang dan mewaktulepas dari kamus, lepas dari sejarah,lepas dari daya korupsi manusiaDemikianlah maka syairku iniberani mewakili cintaku kepadamu puisi karya chairil anwar
    Juwitakubelum pernah aku puas menciumi kamuKamu bagaikan buku yang tak pernah tamat aku bacaKamu adalah lumut di dalam tempurung kepalakuKamu tidak sempurna, gampang sakit perut,gampang sakit kepala dan temperamenmu sering tinggiKamu sulit menghadapi diri sendiriDan dibalik keanggunan dan keluwesanmukamu takut kepada dunia
    JuwitakuLepas dari kotak-kotak analisacintaku kepadamu ternyata adaKamu tidak molek, tetapi cantik dan juwitaJelas tidak immaculata, tetapi menjadi mitosdi dalam kalbuku
    Sampai disini aku akhiri renungan cintaku kepadamuKalau dituruti toh tak akan ada akhirnyaDengan ikhlas aku persembahkan kepadamu :
    Cintaku kepadamu telah mewaktuSyair ini juga akan mewaktuYang jelas usianya akan lebih panjangdari usiaku dan usiamu
    Puisi 4 : Sajak Sebatang Lisong (W.S. Rendra) ITB Bandung 19 agustus 1978
    menghisap sebatang lisongmelihat Indonesia Rayamendengar 130 juta rakyatdan di langitdua tiga cukung mengangkangberak di atas kepala mereka
    matahari terbitfajar tibadan aku melihat delapan juta kanak kanaktanpa pendidikan
    aku bertanyatetapi pertanyaan pertanyaankumembentur meja kekuasaan yang macetdan papantulis papantulis para pendidikyang terlepas dari persoalan kehidupan puisi karya chairil anwar
    delapan juta kanak kanakmenghadapi satu jalan panjangtanpa pilihantanpa pepohonantanpa dangau persinggahantanpa ada bayangan ujungny puisi karya chairil anwar
    menghisap udarayang disemprot deodorantaku melihat sarjana sarjana menganggurberpeluh di jalan rayaaku melihat wanita buntingantri uang pensiunan
    dan di langitpara teknokrat berkata : puisi karya chairil anwar
    bahwa bangsa kita adalah malasbahwa bangsa mesti dibangunmesti di up-gradedisesuaikan dengan teknologi yang diimpor puisi karya chairil anwar
    gunung gunung menjulanglangit pesta warna di dalam senjakaladan aku melihatprotes protes yang terpendamterhimpit di bawah tilam
    aku bertanyatetapi pertanyaankumembentur jidat penyair penyair salonyang bersajak tentang anggur dan rembulansementara ketidak adilan terjadi disampingnyadan delapan juta kanak kanak tanpa pendidikantermangu mangu di kaki dewi kesenian
    bunga bunga bangsa tahun depanberkunang kunang pandang matanyadi bawah iklan berlampu neonberjuta juta harapan ibu dan bapakmenjadi gemalau suara yang kacaumenjadi karang di bawah muka samodra­­­­­­­­­­­kita mesti berhenti membeli rumus rumus asingdiktat diktat hanya boleh memberi metodetetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaankita mesti keluar ke jalan rayakeluar ke desa desamencatat sendiri semua gejaladan menghayati persoalan yang nyata
    inilah sajakkupamplet masa daruratapakah artinya kesenianbila terpisah dari derita lingkunganapakah artinya berpikirbila terpisah dari masalah kehidupan
    Puisi 5 : Sajak Orang Lapar (W.S. Rendra)
    kelaparan adalah burung gagakyang licik dan hitamjutaan burung-burung gagakbagai awan yang hitam
    o Allah !burung gagak menakutkandan kelaparan adalah burung gagakselalu menakutkankelaparan adalah pemberontakanadalah penggerak gaibdari pisau-pisau pembunuhanyang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin
    kelaparan adalah batu-batu karangdi bawah wajah laut yang tiduradalah mata air penipuanadalah pengkhianatan kehormatan
    seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedumelihat bagaimana tangannya sendirimeletakkan kehormatannya di tanahkarena kelaparankelaparan adalah ibliskelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran
    o Allah !kelaparan adalah tangan-tangan hitamyang memasukkan segenggam tawaske dalam perut para miskin
    o Allah !kami berlututmata kami adalah mata Muini juga mulut Muini juga hati Mudan ini juga perut Muperut Mu lapar, ya Allahperut Mu menggenggam tawasdan pecahan-pecahan gelas kaca
    o Allah !betapa indahnya sepiring nasi panassemangkuk sop dan segelas kopi hitam
    o Allah !kelaparan adalah burung gagakjutaan burung gagakbagai awan yang hitammenghalang pandangkuke sorga Mu.
    Puisi 6 : Sajak Rajawali (W.S. Rendra)
    sebuah sangkar besitidak bisa mengubah rajawalimenjadi seekor burung nuri
    rajawali adalah pacar langitdan di dalam sangkar besirajawali merasa pastibahwa langit akan selalu menanti
    langit tanpa rajawaliadalah keluasan dan kebebasan tanpa sukmatujuh langit, tujuh rajawalitujuh cakrawala, tujuh pengembara
    rajawali terbang tinggi memasuki sepimemandang duniarajawali di sangkar besiduduk bertapamengolah hidupnya
    hidup adalah merjan-merjan kemungkinanyang terjadi dari keringat mataharitanpa kemantapan hati rajawalimata kita hanya melihat matamorgana
    rajawali terbang tinggimembela langit dengan setiadan ia akan mematuk kedua matamuwahai, kamu, pencemar langit yang durhaka.
    Puisi 7 : Sajak Pertemuan Mahasiswa (W.S. Rendra) Jakarta, 1 desember 1977
    matahari terbit pagi inimencium bau kencing orok di kaki langitmelihat kali coklat menjalar ke lautandan mendengar dengung di dalam hutanlalu kini ia dua penggalah tingginyadan ia menjadi saksi kita berkumpul disinimemeriksa keadaankita bertanya :kenapa maksud baik tidak selalu bergunakenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlagaorang berkata : kami ada maksud baikdan kita bertanya : maksud baik untuk siapa ?ya !ada yang jaya, ada yang terhinaada yang bersenjata, ada yang terlukaada yang duduk, ada yang didudukiada yang berlimpah, ada yang terkurasdan kita disini bertanya :maksud baik saudara untuk siapa ?saudara berdiri di pihak yang mana ?kenapa maksud baik dilakukantetapi makin banyak petani kehilangan tanahnyatanah tanah di gunung telah dimiliki orang orang kotaperkebunan yang luashanya menguntungkan segolongan kecil sajaalat alat kemajuan yang diimportidak cocok untuk petani yang sempit tanahnyatentu, kita bertanya :lantas maksud baik saudara untuk siapa ?sekarang matahari semakin tinggilalu akan bertahta juga di atas puncak kepaladan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :kita ini dididik untuk memihak yang mana ?ilmu ilmu diajarkan disiniakan menjadi alat pembebasanataukah alat penindasan ?sebentar lagi matahari akan tenggelammalam akan tibacicak cicak berbunyi di tembokdan rembulan berlayartetapi pertanyaan kita tidak akan meredaakan hidup di dalam mimpiakan tumbuh di kebon belakangdan esok harimatahari akan terbit kembalisementara hari baru menjelmapertanyaan pertanyaan kita menjadi hutanatau masuk ke sungaimenjadi ombak di samodradi bawah matahari ini kita bertanya :ada yang menangis, ada yang menderaada yang habis, ada yang mengikisdan maksud baik kitaberdiri di pihak yang mana !
    Puisi 8 : Surat Cinta (W.S. Rendra)
    Kutulis surat inikala hujan gerimisbagai bunyi tambur yang gaib,Dan angin mendesahmengeluh dan mendesah,Wahai, dik Narti,aku cinta kepadamu !
    Kutulis surat inikala langit menangisdan dua ekor belibisbercintaan dalam kolambagai dua anak nakaljenaka dan manismengibaskan ekorserta menggetarkan bulu-bulunya,Wahai, dik Narti,kupinang kau menjadi istriku !
    Kaki-kaki hujan yang runcingmenyentuhkan ujungnya di bumi,Kaki-kaki cinta yang tegasbagai logam berat gemerlapanmenempuh ke mukadan tak kan kunjung diundurkan
    Selusin malaikattelah turundi kala hujan gerimisDi muka kaca jendelamereka berkaca dan mencuci rambutnyauntuk ke pestaWahai, dik Nartidengan pakaian pengantin yang anggunbunga-bunga serta keris keramataku ingin membimbingmu ke altaruntuk dikawinkanAku melamarmu,Kau tahu dari dulu:tiada lebih burukdan tiada lebih baikdari yang lain­penyair dari kehidupan sehari-hari,orang yang bermula dari katakata yang bermula darikehidupan, pikir dan rasa
    Semangat kehidupan yang kuatbagai berjuta-juta jarum alitmenusuki kulit langit:kantong rejeki dan restu wingitLalu tumpahlah gerimisAngin dan cintamendesah dalam gerimis.Semangat cintaku yang kutabatgai seribu tangan gaibmenyebarkan seribu jaringmenyergap hatimuyang selalu tersenyum padaku
    Engkau adalah putri duyungtawanankuPutri duyung dengansuara merdu lembutbagai angin laut,mendesahlah bagiku !Angin mendesahselalu mendesahdengan ratapnya yang merdu.Engkau adalah putri duyungtergolek lemasmengejap-ngejapkan matanya yang indahdalam jaringkuWahai, putri duyung,aku menjaringmuaku melamarmu
    Kutulis surat inikala hujan gerimiskerna langitgadis manja dan manismenangis minta mainan.Dua anak lelaki nakalbersenda gurau dalam selokandan langit iri melihatnyaWahai, Dik Nartikuingin dikaumenjadi ibu anak-anakku !
    Puisi 9 : Rumpun Alang-alang (W.S. Rendra)
    Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayangKerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malangDi hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatalSerumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal
    Gelap dan bergoyang iadan ia pun berbunga dosaEngkau tetap yang punyatapi alang-alang tumbuh di dada.
    Puisi 10 : Makna Sebuah Titipan (W.S. Rendra)
    Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,bahwa mobilku hanya titipan Nya,bahwa rumahku hanya titipan Nya,bahwa hartaku hanya titipan Nya,bahwa putraku hanya titipan Nya,tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibahkusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,aku ingin lebih banyak harta,ingin lebih banyak mobil,lebih banyak rumah,lebih banyak popularitas,dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,Seolah semua derita adalah hukuman bagiku.Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika :aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, danNikmat dunia kerap menghampiriku.Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.Kuminta Dia membalas perlakuan baikku, dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah.ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja.Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,bahwa mobilku hanya titipan Nya,bahwa rumahku hanya titipan Nya,bahwa hartaku hanya titipan Nya,bahwa putraku hanya titipan Nya,tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibahkusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,aku inglebih banyak harta,inglebih banyak mobil,lebih banyak rumah,lebih banyak popularitas,dan kutolak sakit, kutolak kemiski1Seolah semua derita adalah hukuman bagiku.Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika :aku rajberibadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, danNikmat dunia kerap menghampiriku.Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.Kuminta Dia membalas perlakuan baikku, dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah.ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja.
    Puisi 11 : Sajak Bulan Mei 1998 Di Indonesia (W.S. Rendra) DPR 18 Mei 1998
    Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-rajaBangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalanAmarah merajalela tanpa alamatKelakuan muncul dari sampah kehidupanPikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah
    O, zaman edan!O, malam kelam pikiran insan!Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaanKitab undang-undang tergeletak di selokanKepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan
    O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!Dari sejak zaman Ibrahim dan MusaAllah selalu mengingatkanbahwa hukum harus lebih tinggidari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara
    O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!Berhentilah mencari Ratu Adil!Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya!Apa yang harus kita tegakkan bersamaadalah Hukum AdilHukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara
    Bau anyir darah yang kini memenuhi udaramenjadi saksi yang akan berkata:Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyatapabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsaapabila aparat keamanan sudah menjarah keamananmaka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasalalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya
    Wahai, penguasa dunia yang fana!Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?Apakah masih akan menipu diri sendiri?Apabila saran akal sehat kamu remehkanberarti pintu untuk pikiran-pikiran kalapyang akan muncul dari sudut-sudut gelaptelah kamu bukakan!
    Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu PertiwiAirmata mengalir dari sajakku ini.
    Puisi 12 : Perempuan yang Tergusur (W.S. Rendra) Cipayung Jaya, 3 Desember 2003
    Hujan lebat turun di hulu subuhdisertai angin gemuruhyang menerbangkan mimpiyang lalu tersangkut di ranting pohon
    Aku terjaga dan termangumenatap rak buku-bukumendengar hujan menghajar dindingrumah kayuku.Tiba-tiba pikiran mengganti mimpidan lalu terbayanglah wajahmu,wahai perempupan yang tergusur!
    Tanpa pilihanibumu mati ketika kamu bayidan kamu tak pernah tahu siapa ayahmu.Kamu diasuh nenekmu yang miskin di desa.Umur enam belas kamu dibawa ke kotaoleh sopir taxi yang mengawinimu.Karena suka berjudiia menambah penghasilan sebagai germo.
    Ia paksa kamu jadi primadona pelacurnya.Bila kamu ragu dan murung,lalu kurang setoran kamu berikan,ia memukul kamu babak belur.Tapi kemudian ia mati ditembak tentaraketika ikut demontrasi politiksebagai demonstran bayaran.
    Sebagai janda yang pelacurkamu tinggal di gubuk tepi kalidibatas kotaGubernur dan para anggota DPRDmenggolongkanmu sebagai tikus gotyang mengganggu peradaban.Di dalam hukum positif tempatmu tidak ada.Jadi kamu digusur.
    Didalam hujuan lebat pagi iniapakah kamu lagi berjalan tanpa tujuansambhil memeluk kantong plastikyang berisi sisa hartamu?Ataukah berteduh di bawah jembatan?
    Impian dan usahabagai tata rias yang luntur oleh hujanmengotori wajahmu.kamu tidak merdeka.Kamu adalah korban tenung keadaan.Keadilan terletak diseberang highway yang bebahayayang tak mungkin kamu seberangi.
    Aku tak tahu cara seketika untuk membelamu.Tetapi aku memihak kepadamu.Dengan sajak ini bolehkan aku menyusut keringat dingindi jidatmu?
    O,cendawan peradaban!O, teka-teki keadilan!
    Waktu berjalan satu arah saja.Tetapi ia bukan garis lurus.Ia penuh kelokan yang mengejutkan,gunung dan jurang yang mengecilkan hati,Setiap kali kamu lewati kelokan yang berbahayapuncak penderitaan yang menyakitkan hati,atau tiba di dasar jurang yang berlimbah lelah,selalu kamu dapati kedudukan yang tak berubah,ialah kedudukan kaum terhina.
    Tapi aku kagum pada daya tahanmu,pada caramu menikmati setiap kesempatan,pada kemampuanmu berdamai dengan dunia,pada kemampuanmu berdamai dengan diri sendiri,dan caramu merawat selimut dengan hati-hati.
    Ternyata di gurun pasir kehidupan yang penuh bencanasemak yang berduri bisa juga berbunga.Menyaksikan kamu tertawakarena melihat ada kelucuan di dalam ironi,diam-diam aku memuja kamu di hati ini.
    Puisi 13 : Kangen (W.S. Rendra)
    Kau tak akan mengerti bagaimana kesepiankumenghadapi kemerdekaan tanpa cintakau tak akan mengerti segala lukakukerna luka telah sembunyikan pisaunya.Membayangkan wajahmu adalah siksa.Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.Engkau telah menjadi racun bagi darahku.Apabila aku dalam kangen dan sepiitulah berartiaku tungku tanpa api..Kenangan dan Kesepian
    Rumah tuadan pagar batu.Langit di desasawah dan bambu.
    Berkenalan dengan sepipada kejemuan disandarkan dirinya.Jalanan berdebu tak berhatilewat nasib menatapnya.
    Cinta yang datangburung tak tergenggam.Batang baja waktu lengangdari belakang menikam.
    Rumah tuadan pagar batu.Kenangan lamadan sepi yang syahdu
    Puisi 14 : Orang Orang Miskin (W.S. Rendra) Yogya, 4 Pebruari 1978
    Orang-orang miskin di jalan,yang tinggal di dalam selokan,yang kalah di dalam pergulatan,yang diledek oleh impian,janganlah mereka ditinggalkan.
    Angin membawa bau baju mereka.Rambut mereka melekat di bulan purnama.Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,mengandung buah jalan raya.
    Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.Tak bisa kamu abaikan.
    Bila kamu remehkan mereka,di jalan kamu akan diburu bayangan.Tidurmu akan penuh igauan,dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
    Jangan kamu bilang negara ini kayakarena orang-orang berkembang di kota dan di desa.Jangan kamu bilang dirimu kayabila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.Dan perlu diusulkanagar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
    Orang-orang miskin di jalanmasuk ke dalam tidur malammu.Perempuan-perempuan bunga rayamenyuapi putra-putramu.Tangan-tangan kotor dari jalananmeraba-raba kaca jendelamu.Mereka tak bisa kamu biarkan.
    Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.Mereka akan menjadi pertanyaanyang mencegat ideologimu.Gigi mereka yang kuningakan meringis di muka agamamu.Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelapakan hinggap di gorden presidenandan buku programma gedung kesenian.
    Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,bagai udara panas yang selalu ada,bagai gerimis yang selalu membayang.Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisautertuju ke dada kita,atau ke dada mereka sendiri.O, kenangkanlah :orang-orang miskinjuga berasal dari kemah Ibrahim
    Puisi 15 : Aku Tulis Pamplet Ini (W.S. Rendra) Pejambon Jakarta 27 April 1978
    Aku tulis pamplet inikarena lembaga pendapat umumditutupi jaring labah-labahOrang-orang bicara dalam kasak-kusuk,dan ungkapan diri ditekanmenjadi pengiyaan
    Apa yang terpegang hari inibisa luput besok pagiKetidakpastian merajalela.Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-tekimenjadi marabahayamenjadi isi kebon binatang
    Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,maka hidup akan menjadi sayur tanpa garamLembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.Tidak mengandung perdebatanDan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
    Aku tulis pamplet inikarena pamplet bukan tabu bagi penyairAku inginkan merpati pos.Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tangankuAku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
    Aku tidak melihat alasankenapa harus diam tertekan dan termangu.Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
    Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
    Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.Rembulan memberi mimpi pada dendam.Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
    yang teronggok bagai sampahKegamangan. Kecurigaan.Ketakutan.Kelesuan.Aku tulis pamplet inikarena kawan dan lawan adalah saudaraDi dalam alam masih ada cahaya.Matahari yang tenggelam diganti rembulan.Lalu besok pagi pasti terbit kembali.Dan di dalam air lumpur kehidupan,aku melihat bagai terkaca :ternyata kita, toh, manusia !
    Puisi 16 : Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang (W.S. Rendra) Mimbar Indonesia 18 Juni 1960.
    Tuhanku,WajahMu membayang di kota terbakardan firmanMu terguris di atas ribuankuburan yang dangkal
    Anak menangis kehilangan bapaTanah sepi kehilangan lelakinyaBukannya benih yang disebar di bumi subur initapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
    Apabila malam turun nantisempurnalah sudah warna dosadan mesiu kembali lagi bicaraWaktu itu, Tuhanku,perkenankan aku membunuhperkenankan aku menusukkan sangkurku
    Malam dan wajahkuadalah satu warnaDosa dan nafaskuadalah satu udara.Tak ada lagi pilihankecuali menyadari-biarpun bersama penyesalan-
    Apa yang bisa diucapkanoleh bibirku yang terjajah ?Sementara kulihat kedua lengaMu yang capaimendekap bumi yang mengkhianatiMuTuhankuErat-erat kugenggam senapankuPerkenankan aku membunuhPerkenankan aku menusukkan sangkurku
    Puisi 17 : Gerilya (W.S. Rendra) Siasat Th IX, No. 42 1955
    Tubuh birutatapan mata birulelaki berguling di jalan
    Angin tergantungterkecap pahitnya tembakaubendungan keluh dan bencana
    Tubuh birutatapan mata birulelaki berguling dijalan
    Dengan tujuh lubang pelordiketuk gerbang langitdan menyala mentari mudamelepas kesumatnya
    Gadis berjalan di subuh merahdengan sayur-mayur di punggungmelihatnya pertama
    Ia beri jeritan manisdan duka daun wortel
    Tubuh birutatapan mata birulelaki berguling dijalan
    Orang-orang kampung mengenalnyaanak janda berambut ombakditimba air bergantang-gantangdisiram atas tubuhnya
    Tubuh birutatapan mata birulelaki berguling dijalan
    Lewat gardu Belanda dengan beraniberlindung warna malamsendiri masuk kotaingin ikut ngubur ibunya
    Puisi 18 : Gugur (W.S. Rendra)
    Ia merangkakdi atas bumi yang dicintainyaTiada kuasa lagi menegakTelah ia lepaskan dengan gemilangpelor terakhir dari bedilnyaKe dada musuh yang merebut kotanya
    Ia merangkakdi atas bumi yang dicintainyaIa sudah tualuka-luka di badannya
    Bagai harimau tuasusah payah maut menjeratnyaMatanya bagai sagamenatap musuh pergi dari kotanya
    Sesudah pertempuran yang gemilang itulima pemuda mengangkatnyadi antaranya anaknyaIa menolakdan tetap merangkakmenuju kota kesayangannya
    Ia merangkakdi atas bumi yang dicintainyaBelumlagi selusin tindakmautpun menghadangnya.Ketika anaknya memegang tangannyaia berkata :Yang berasal dari tanahkembali rebah pada tanah.Dan aku pun berasal dari tanahtanah Ambarawa yang kucintaKita bukanlah anak jadahKerna kita punya bumi kecintaan.Bumi yang menyusui kitadengan mata airnya.Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.Bumi kita adalah kehormatan.Bumi kita adalah juwa dari jiwa.Ia adalah bumi nenek moyang.Ia adalah bumi waris yang sekarang.Ia adalah bumi waris yang akan datang.Hari pun berangkat malamBumi berpeluh dan terbakarKerna api menyala di kota Ambarawa
    Orang tua itu kembali berkata :Lihatlah, hari telah fajar !Wahai bumi yang indah,kita akan berpelukan buat selama-lamanya !Nanti sekali waktuseorang cucukuakan menacapkan bajakdi bumi tempatku berkuburkemudian akan ditanamnya benihdan tumbuh dengan suburMaka ia pun berkata :-Alangkah gemburnya tanah di sini!
    Hari pun lengkap malamketika menutup matanya.

    Puisi 19 : Lagu Seorang Gerilya (W.S. Rendra) Jakarta, 2 september 1977
    Engkau melayang jauh, kekasihku.Engkau mandi cahaya matahari.Aku di sini memandangmu,menyandang senapan, berbendera pusaka.
    Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu,engkau berkudung selendang katun di kepalamu.Engkau menjadi suatu keindahan,sementara dari jauhresimen tank penindas terdengar menderu.
    Malam bermandi cahaya matahari,kehijauan menyelimuti medan perang yang membara.Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku,engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu
    Peluruku habisdan darah muncrat dari dadaku.Maka di saat seperti itukamu menyanyikan lagu-lagu perjuanganbersama kakek-kakekku yang telah gugurdi dalam berjuang membela rakyat jelata
    Puisi 20 : Lagu Serdadu (W.S. Rendra) Siasat No. 630, th. 13 November 1959.
    Kami masuk serdadu dan dapat senapangibu kami nangis tapi elang toh harus terbangYoho, darah kami campur arak!Yoho, mimpi kami patung-patung dari perak
    Nenek cerita pulau-pulau kita indah sekaliWahai, tanah yang baik untuk matiDan kalau ku telentang dengan pelor timahcukilah ia bagi puteraku di rumah
    Puisi 21 : Mazmur Mawar (W.S. Rendra) Dirgahayu6 Karya Wiyata 83 Tahun XX Juli-Agustus 1997.
    Kita muliakan Nama TuhanKita muliakan dengan segenap mawarKita muliakan Tuhan yang manis,indah, dan penuh kasih sayangTuhan adalah serdadu yang tertembakTuhan berjalan di sepanjang jalan beceksebagai orang miskin yang tua dan bijaksanadengan baju compang-campingmembelai kepala kanak-kanak yang lapar.Tuhan adalah Bapa yang sakit batukDengan pandangan arif dan bijakmembelai kepala para pelacurTuhan berada di gang-gang gelapBersama para pencuri, para perampokdan para pembunuhTuhan adalah teman sekamar para penjinahRaja dari segala rajaadalah cacing bagi bebek dan babiWajah Tuhan yang manis adalah meja pejudianyang berdebu dan dibantingi kartu-kartu
    Dan sekarang saya lihatTuhan sebagai orang tua rentatidur melengkung di trotoarbatuk-batuk karena malam yang dingindan tangannya menekan perutnya yang laparTuhan telah terserang lapar, batuk, dan selesma,menangis di tepi jalan.Wahai, ia adalah teman kita yang akrab!Ia adalah teman kita semua: para musuh polisi,Para perampok, pembunuh, penjudi,pelacur, penganggur, dan peminta-mintaMarilah kita datang kepada-Nyakita tolong teman kita yang tua dan baik hati.
    Puisi 22 : Pamplet Cinta (W.S. Rendra) Pejambon, Jakarta, 28 April 1978
    Ma, nyamperin matahari dari satu sisi.Memandang wajahmu dari segenap jurusan.
    Aku menyaksikan zaman berjalan kalangkabutan.Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.Aku merindukan wajahmu,dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.Kata-kata telah dilawan dengan senjata.Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.Kenapa keamanan justru menciptakan ketakutan dan keteganganSumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat.Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan
    Suatu malam aku mandi di lautan.Sepi menjdai kaca.Bunga-bunga yang ajaib bermekaran di langit.Aku inginkan kamu, tapi kamu tidak ada.Sepi menjadi kaca.
    Apa yang bisa dilakukan oleh penyairbila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan ?Udara penuh rasa curiga.Tegur sapa tanpa jaminan.
    Air lautan berkilat-kilat.Suara lautan adalah suara kesepian.Dan lalu muncul wajahmu.
    Kamu menjadi maknaMakna menjadi harapan.Sebenarnya apakah harapan ?Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu.Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.Aku tertawa, Ma !
    Angin menyapu rambutku.Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.
    Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur.Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung.Perutku sobek di jalan raya yang lengang­­.Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian.Aku menulis sajak di bordes kereta api.Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.
    Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar,aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.Lalu muncullah kamu,nongol dari perut matahari bunting,jam duabelas seperempat siang.Aku terkesima.Aku disergap kejadian tak terduga.Rahmat turun bagai hujanmembuatku segar,tapi juga menggigil bertanya-tanya.Aku jadi bego, Ma !
    Yaaah , Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih.Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,dan sedih karena kita sering berpisah.Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih ?Bahagia karena napas mengalir dan jantung berdetak.Sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang.Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.
    Ma, nyamperin matahari dari satu sisi,memandang wajahmu dari segenap jurusan.

    Puisi 23 : Sajak Seorang Tua Untuk Isterinya (W.S. Rendra) Sajak-sajak sepatu tua,1972.
    Aku tulis sajak iniuntuk menghibur hatimuSementara kau kenangkan encokmukenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilangDan juga masa depan kitayang hampir rampungdan dengan lega akan kita lunaskan.
    Kita tidaklah sendiridan terasing dengan nasib kitaKerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.Suka duka kita bukanlah istimewakerna setiap orang mengalaminya.
    Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduhHidup adalah untuk mengolah hidupbekerja membalik tanahmemasuki rahasia langit dan samodra,serta mencipta dan mengukir dunia.Kita menyandang tugas,kerna tugas adalah tugas.Bukannya demi sorga atau neraka.Tetapi demi kehormatan seorang manusia.
    Kerna sesungguhnyalah kita bukan debumeski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.Kita adalah kepribadiandan harga kita adalah kehormatan kita.Tolehlah lagi ke belakangke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.
    Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.Sembilan puluh tahun yang selalu bangkitmelewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.Dan kenangkanlah pulabagaimana kita dahulu tersenyum senantiasamenghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.
    Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,nasib, dan kehidupan.
    Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warnaKenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.Kita menjadi goyah dan bongkokkerna usia nampaknya lebih kuat dari kitatetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
    Aku tulis sajak iniuntuk menghibur hatimuSementara kaukenangkan encokmukenangkanlah pulabahwa kita ditantang seratus dewa.
    Puisi 24 : Puisi Doa Di Jakarta (W.S. Rendra)
    Tuhan yang Maha Esa,alangkah tegangnyamelihat hidup yang tergadai,fikiran yang dipabrikkan,dan masyarakat yang diternakkan.
    Malam rebah dalam udara yang kotor.Di manakah harapan akan dikaitkanbila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?Dendam diasah di kolong yang basahsiap untuk terseret dalam gelombang edan.Perkelahian dalam hidup sehari-haritelah menjadi kewajaran.Pepatah dan petitihtak akan menyelesaikan masalahbagi hidup yang bosan,terpenjara, tanpa jendela.
    Tuhan yang Maha Faham,alangkah tak masuk akaljarak selangkahyang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh,yang memisahkansebuah halaman bertaman tanaman hiasdengan rumah-rumah tanpa sumur dan W.C.Hati manusia telah menjadi acuh,panser yang angkuh,traktor yang dendam.
    Tuhan yang Maha Rahman,ketika air mata menjadi gombal,dan kata-kata menjadi lumpur becek,aku menoleh ke utara dan ke selatan di manakah Kamu?Di manakah tabungan keramik untuk wang logam?Di manakah catatan belanja harian?Di manakah peradaban?Ya, Tuhan yang Maha Hakim,harapan kosong, optimisme hampa.Hanya akal sihat dan daya hidupmenjadi peganganku yang nyata.
    Ibumu mempunyai hak yang sekiranya kamu mengetahui tentu itu besar sekaliKebaikanmu yang banyak iniSungguh di sisi-Nya masih sedikitBerapa banyak malam yang ia gunakan mengaduh karena menanggung bebanmuDalam pelayanannya ia menanggung rintih dan nafas panjangKetika melahirkan andai kamu mengetahui keletihan yang ditanggungnyaDari balik sumbatan kerongkongannya hatinya terbangBerapa banyak ia membasuh sakitmu dengan tangannyaPangkuannya bagimu adalah sebuah ranjangSesuatu yang kamu keluhkan selalu ditebusnya dengan dirinyaDari susunya keluarlah minuman yang sangat enak buatmuBerapa kali ia lapar dan ia memberikan makanannya kepadamuDengan belas kasih dan kasih sayang saat kamu masih kecilAneh orang yang berakal tapi masih mengikuti hawa nafsunyaAneh orang yang buta mata hatinya sementara matanya melihatWujudkan cintaimu dengan memberikan doamu yang setulusnya pada ibumuKarena kamu sangat membutuhkan doanya padamu.
    Puisi 25 : Sajak SLA (W.S. Rendra) Yogya, 22 Juni 1977
    Murid-murid mengobel klentit ibu gurunyaBagaimana itu mungkin ?Itu mungkin.Karena tidak ada patokan untuk apa saja.Semua boleh. Semua tidak boleh.Tergantung pada cuaca.Tergantung pada amarah dan girangnya sang raja.Tergantung pada kuku-kuku garuda dalam mengatur kata-kata.
    Ibu guru perlu sepeda motor dari Jepang.Ibu guru ingin hiburan dan cahaya.Ibu guru ingin atap rumahnya tidak bocor.Dan juga ingin jaminan pil penenang,tonikum-tonikum dan obat perangsang yang dianjurkan oleh dokter.Maka berkatalah iaKepada orang tua murid-muridnya :Kita bisa mengubah keadaan.Anak-anak akan lulus ujian kelasnya,terpandang di antara tetangga,boleh dibanggakan pada kakak mereka.Soalnya adalah kerjasama antara kita.Jangan sampai kerjaku terganggu,karna atap bocor.
    Dan papa-papa semua senang.Di pegang-pegang tangan ibu guru,dimasukan uang ke dalam genggaman,serta sambil lalu,di dalam suasana persahabatan,teteknya disinggung dengan siku.
    Demikianlah murid-murid mengintip semua ini.Inilah ajaran tentang perundingan,perdamaian, dan santainya kehidupan.
    Ibu guru berkata :Kemajuan akan berjalan dengan lancar.Kita harus menguasai mesin industri.Kita harus maju seperti Jerman,Jepang, Amerika.Sekarang, keluarkanlah daftar logaritma.
    Murid-murid tertawa,dan mengeluarkan rokok mereka.Karena mengingat kesopanan,jangan kalian merokok.Kelas adalah ruangbelajar.Dan sekarang : daftar logaritma !
    Murid-murid tertawa dan berkata :Kami tidak suka daftar logaritma.Tidak ada gunanya !kalian tidak ingin maju ?Kemajuan bukan soal logaritma.Kemajuan adalah soal perundingan.Jadi apa yang kaian inginkan ?Kami tidak ingin apa-apa.Kami sudah punya semuanya.Kalian mengacau !Kami tidak mengacau.Kami tidak berpolitik.Kami merokok dengan santai.Sperti ayah-ayah kami di kantor mereka :santai, tanpa politikberunding dengan Cinaberunding dengan Jepangmenciptakan suasana girang.Dan di saat ada pemilu,kami membantu keamanan,meredakan partai-partai.
    Murid-murid tertawa.Mereka menguasai perundingan.Ahli lobbying.Faham akan gelagat.Pandai mengikuti keadaan.Mereka duduk di kantin,minum sitrun,menghindari ulangan sejarah.Mereka tertidur di bangku kelas,yang telah mereka bayar sama mahalseperti sewa kamar di hotel.Sekolah adalah pergaulan,yang ditentukan oleh mode,dijiwai oleh impian kemajuan menurut iklan.Dan bila ibu guru berkata :Keluarkan daftar logaritma !
    Murid-murid tertawa.Dan di dalam suasana persahabatan,mereka mengobel ibu guru mereka.
    Puisi 26 : Sajak Joki Tobing untuk Widuri (W.S. Rendra) Jakarta, 9 Mei 1977
    Dengan latar belakang gubug-gubug karton,aku terkenang akan wajahmu.Di atas debu kemiskinan,aku berdiri menghadapmu.Usaplah wajahku, Widuri.Mimpi remajaku gugurdi atas padang pengangguran.Ciliwung keruh,wajah-wajah nelayan keruh,lalu muncullah rambutmu yang berkibaranKemiskinan dan kelaparan,membangkitkan keangkuhanku.Wajah indah dan rambutmumenjadi pelangi di cakrawalaku.
    Puisi 27 : Sajak Seorang Tua Untuk Anaknya (W.S. Rendra)
    Aku tulis sajak iniuntuk menghibur hatimuSementara kau kenangkan encokmukenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilangDan juga masa depan kitayang hampir rampungdan dengan lega akan kita lunaskan.
    Kita tidaklah sendiridan terasing dengan nasib kitaKerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.Suka duka kita bukanlah istimewakerna setiap orang mengalaminya.
    Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduhHidup adalah untuk mengolah hidupbekerja membalik tanahmemasuki rahasia langit dan samodra,serta mencipta dan mengukir dunia.Kita menyandang tugas,kerna tugas adalah tugas.Bukannya demi sorga atau neraka.Tetapi demi kehormatan seorang manusia.
    Kerna sesungguhnyalah kita bukan debumeski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.Kita adalah kepribadiandan harga kita adalah kehormatan kita.Tolehlah lagi ke belakangke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.
    Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.Sembilan puluh tahun yang selalu bangkitmelewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.Dan kenangkanlah pulabagaimana kita dahulu tersenyum senantiasamenghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.
    Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,nasib, dan kehidupan.
    Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warnaKenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.Kita menjadi goyah dan bongkokkerna usia nampaknya lebih kuat dari kitatetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
    Aku tulis sajak iniuntuk menghibur hatimuSementara kaukenangkan encokmukenangkanlah pulabahwa kita ditantang seratus dewa.
    Puisi 28 : Sajak Peperangan Abimanyu (W.S. Rendra) Jakarta, 2 September 1977
    Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru.Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya.Hatinya damai,di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,karena ia telah lunasmenjalani kewjiban dan kewajarannya.
    Setelah ia wafatapakah petani-petani akan tetap menderita,dan para wanita kampungtetap membanjiri rumah pelacuran di kota ?Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup.Tetapi bukan itu yang terlintas di kepalanyaketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka.Saat itu ia mendengarnyanyian angin dan air yang turun dari gunung.
    Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa.Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan.Di saat badan berlumur darah,jiwa duduk di atas teratai.
    Ketika ibu-ibu meratapdan mengurap rambut mereka dengan debu,roh ksatria bersetubuh dengan cakrawalauntuk menanam benihagar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas dari zaman ke zaman
    Puisi 29 : Sajak Seonggok Jagung (W.S. Rendra) Tim, 12 Juli 1975
    Seonggok jagung di kamardan seorang pemudayang kurang sekolahan.Memandang jagung itu,sang pemuda melihat ladang;ia melihat petani;ia melihat panen;dan suatu hari subuh,para wanita dengan gendonganpergi ke pasar ­­­..Dan ia juga melihatsuatu pagi haridi dekat sumurgadis-gadis bercandasambil menumbuk jagungmenjadi maisena.Sedang di dalam dapurtungku-tungku menyala.Di dalam udara murnitercium kuwe jagungSeonggok jagung di kamardan seorang pemuda.Ia siap menggarap jagungIa melihat kemungkinanotak dan tangansiap bekerjaTetapi ini :Seonggok jagung di kamardan seorang pemuda tamat SLATak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.Ia memandang jagung itudan ia melihat dirinya terlunta-lunta .Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.Ia melihat saingannya naik sepeda motor.Ia melihat nomor-nomor lotre.Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.Seonggok jagung di kamartidak menyangkut pada akal,tidak akan menolongnya.Seonggok jagung di kamartak akan menolong seorang pemudayang pandangan hidupnya berasal dari buku,dan tidak dari kehidupan.Yang tidak terlatih dalam metode,dan hanya penuh hafalan kesimpulan,yang hanya terlatih sebagai pemakai,tetapi kurang latihan bebas berkarya.Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.Aku bertanya :Apakah gunanya pendidikanbila hanya akan membuat seseorang menjadi asingdi tengah kenyataan persoalannya ?Apakah gunanya pendidikanbila hanya mendorong seseorangmenjadi layang-layang di ibukotakikuk pulang ke daerahnya ?Apakah gunanya seseorangbelajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,atau apa saja,bila pada akhirnya,ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :Di sini aku merasa asing dan sepi !
    Puisi 30 : Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon (W.S. Rendra) Pejambon, 23 Oktober 1977
    Inilah sajakku,seorang tua yang berdiri di bawah pohon meranggas,dengan kedua tangan kugendong di belakang,dan rokok kretek yang padam di mulutku.Aku memandang zaman.Aku melihat gambaran ekonomidi etalase toko yang penuh merk asing,dan jalan-jalan bobrok antar desayang tidak memungkinkan pergaulan.Aku melihat penggarongan dan pembusukan.Aku meludah di atas tanah.Aku berdiri di muka kantor polisi.Aku melihat wajah berdarah seorang demonstran.Aku melihat kekerasan tanpa undang-undang.Dan sebatang jalan panjang,punuh debu,penuh kucing-kucing liar,penuh anak-anak berkudis,penuh serdadu-serdadu yang jelek dan menakutkan.Aku berjalan menempuh matahari,menyusuri jalan sejarah pembangunan,yang kotor dan penuh penipuan.Aku mendengar orang berkata :Hak asasi manusia tidak sama dimana-mana.Di sini, demi iklim pembangunan yang baik,kemerdekaan berpolitik harus dibatasi.Mengatasi kemiskinanmeminta pengorbanan sedikit hak asasiAstaga, tahi kerbo apa ini !Apa disangka kentut bisa mengganti rasa keadilan ?Di negeri ini hak asasi dikurangi,justru untuk membela yang mapan dan kaya.Buruh, tani, nelayan, wartawan, dan mahasiswa,dibikin tak berdaya.O, kepalsuan yang diberhalakan,berapa jauh akan bisa kaulawan kenyataan kehidupan.Aku mendengar bising kendaraan.Aku mendengar pengadilan sandiwara.Aku mendengar warta berita.Ada gerilya kota merajalela di Eropa.Seorang cukong bekas kaki tangan fasis,seorang yang gigih, melawan buruh,telah diculik dan dibunuh,oleh golongan orang-orang yang marah.Aku menatap senjakala di pelabuhan.Kakiku ngilu,dan rokok di mulutku padam lagi.Aku melihat darah di langit.Ya ! Ya ! Kekerasan mulai mempesona orang.Yang kuasa serba menekan.Yang marah mulai mengeluarkan senjata.Bajingan dilawan secara bajingan.Ya ! Inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang.Bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi,maka bajingan jalanan yang akan diadili.Lalu apa kata nurani kemanusiaan ?Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini ?Apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi ?Bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak ?Apakah kata nurani kemanusiaan ?O, Senjakala yang menyala !Singkat tapi menggetarkan hati !Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang !O, gambaran-gambaran yang fana !Kerna langit di badan yang tidak berhawa,dan langit di luar dilabur bias senjakala,maka nurani dibius tipudaya.Ya ! Ya ! Akulah seorang tua !Yang capek tapi belum menyerah pada mati.Kini aku berdiri di perempatan jalan.Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing.Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak.Sebagai seorang manusia.
    Puisi 31 : Sajak Gadis dan Majikan (W.S. Rendra) Yogya, 10 Juli 1975
    Janganlah tuan seenaknya memelukku.Ke mana arahnya, sudah cukup aku tahu.Aku 0„ 2 bukan ahli ilmu menduga,tetapi jelas sudah kutahupelukan ini apa artinya­..Siallah pendidikan yang aku terima.Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing,kerapian, dan tatacara,Tetapi lupa diajarkan :bila dipeluk majikan dari belakang,lalu sikapku bagaimana !Janganlah tuan seenaknya memelukku.Sedangkan pacarku tak berani selangsung itu.Apakah tujuan tuan, sudah cukup aku tahu,Ketika tuan siku teteku,sudah kutahu apa artinya­­Mereka ajarkan aku membenci dosatetapi lupa mereka ajarkanbagaimana mencari kerja.Mereka ajarkan aku gaya hidupyang peralatannya tidak berasal dari lingkungan.Diajarkan aku membutuhkanperalatan yang dihasilkan majikan,dan dikuasai para majikan.Alat-alat rias, mesin pendingin,vitamin sintetis, tonikum,segala macam soda, dan ijazah sekolah.Pendidikan membuatku terikatpada pasar mereka, pada modal mereka.Dan kini, setelah aku dewasa.Kemana lagi aku ®kan lari,bila tidak ke dunia majikan ?Jangnlah tuan seenaknya memelukku.Aku bukan cendekiawantetapi aku cukup tahusemua kerja di mejakuakan ke sana arahnya.Jangan tuan, jangan !Jangan seenaknya memelukku.Ah, Wah .Uang yang tuan selipkan ke behakuadalah ijazah pendidikankuAh, Ya.Begitulah.Dengan yakin tuan memelukku.Perut tuan yang buncitmenekan perutku.Mulut tuan yang burukmencium mulutku.Sebagai suatu kewajaransemuanya tuan lakukan.Seluruh anggota masyarakat membantu tuan.Mereka pegang kedua kakiku.Mereka tarik pahaku mengangkang.Sementara tuan naik ke atas tubuhku.
    Puisi 32 : Sajak Potret Keluarga (W.S. Rendra) Yogya, 10 Juli 1975.
    Tanggal lima belas tahun rembulan.Wajah molek bersolek di angkasa.Kemarau dingin jalan berdebu.Ular yang lewat dipagut naga.Burung tekukur terpisah dari sarangnya.Kepada rekannya berkatalah suami itu :Semuanya akan beres. Pasti beres.Mengeluhkan keadaan tak ada gunanya.Kesukaran selalu ada.Itulah namanya kehidupan.Apa yang kita punya sudah lumayan.Asal keluarga sudah terjaga,rumah dan mobil juga ada,apa palgi yang diruwetkan ?Anak-anak dengan tertib aku sekolahkan.Yang putri di SLA, yang putra mahasiswa.Di rumah ada TV, anggrek,air conditioning, dan juga agama.Inilah kesejahteraan yang harus dibina.Kita mesti santai.Hanya orang edan sengaja mencari kesukaran.Memprotes keadaaan, tidak membawa perubahan.Salah-salah malah hilang jabatan.­­­­­­..Tanggal lima belas tahun rembulanAngin kemarau tergantung di blimbing berkembang.Malam disambut suara halus dalam rumputan.Anjing menjenguk keranjang sampah.Kucing berjalan di bubungan atap.Dan ketonggeng menunggu di bawah batu.
    Isri itu duduk di muka kaca dan berkata :Hari-hari mengalir seperti sungai arak.Udara penuh asap candu.Tak ada yang jelas di dalam kehidupan.Peristiwa melayang-layang bagaikan bayangan.Tak ada yang bisa diambil pegangan.Suamiku asyik dengan mobilnyapadahal hidupnya penuh utang.Semakin kaya semakin banyak pula utangnya.Uang sekolah anak-anak selalu lambat dibayar.Ya, Tuhan, apa yang terjadi pada anak-anakku.Apakah jaminan pendidikannya ?Ah, Suamiku !Dahulu ketika remaja hidupnya sederhana,pikirannya jelas pula.Tetapi kini serba tidak kebenaran.Setiap barang membuatnya berengsek.Padahal harganya mahal semua.TV Selalu dibongkar.Gambar yang sudah jelas juga masih dibenar-benarkan.Akhirnya tertidur­­.Sementara TV-nya membuat kegaduhan.Tak ada lagi yang bisa menghiburnya.Gampang marah soal mobilGampang pula kambuh bludreknyaMakanan dengan cermat dijagamalahan kena sakit gula.Akulah yang selalu kena luapan.Ia marah karena tak berdaya.Ia menyembunyikan kegagalam.Ia hanyut di dalam kemajuan zaman.Tidak gagah. Tidak berdaya melawannya !­­­­­­­­­­­­..Tanggal lima belas tahun rembulan.Tujuh unggas tidur di pohon nangkaSedang di tanah ular mencari mangsa.Berdesir-desir bunyi kali dikejauhan.Di tebing yang landai tidurlah buaya.Di antara batu-batu dua ketam bersenggama.
    Sang Putri yang di SLA, berkata :Kawinilah aku. Buat aku mengandung.Bawalah aku pergi. Jadikanlah aku babu.Aku membenci duniaku ini.Semuanya serba salah, setiap orang gampang marah.Ayah gampang marah lantaran mobil dan TVIbu gampang marah lantaran tak berani marah kepada ayah.Suasana tegang di dalam rumahmeskipun rapi perabotannya.Aku yakin keluargaku mencintaiku.Tetapi semuanya ini untuk apa ?Untuk apa hidup keluargaku ini ?Apakah ayah hidup untuk mobil dan TV ?Apakah ibu hidup karena tak punya pilihan ?Dan aku ? Apa jadinya aku nanti ?Tiga belas tahun aku belajar di sekolah.Tetapi belum juga mampu berdiri sendiri.Untuk apakah kehidupan kami ini ?Untuk makan ? Untuk baca komik ?Untuk apa ?Akhirnya mendorong untuk tidak berbuat apa-apa !Kemacetan mencengkeram hidup kami.Kakasihku, temanilah aku merampok Bank.Pujaanku, suntikkan morpin ini ke urat darah di tetekku ­­­­­­­­­­­­Tanggal lima belas tahun rembulan.Atap-atap rumah nampak jelas bentuknyadi bawah cahaya bulan.Sumur yang sunyi menonjol di bawah dahan.Akar bambu bercahaya pospor.Keleawar terbang menyambar-nyambar.Seekor kadal menangkap belalang.Sang Putra, yang mahasiswa, menulis surat dimejanya : Ayah dan ibu yang terhormat,aku pergi meninggalkan rumah ini.Cinta kasih cukup aku dapatkan.Tetapi aku menolak cara hidup ayah dan ibu.Ya, aku menolak untuk mendewakan harta.Aku menolak untuk mengejar kemewahan,tetapi kehilangan kesejahteraan.Bahkan kemewahan yang ayah punyatidak juga berarti kemakmuran.Ayah berkata : santai, santai ! tetapi sebenarnya ayah hanyutdibawa arus jorok keadaanAyah hanya punya kelas,tetapi tidak punya kehormatan.Kenapa ayah berhak mendapatkan kemewahan yang sekarang ayah miliki ini?Hasil dari bekerja ? Bekerja apa ?Apakh produksi dan jasa seorang birokrat yang korupsi ?Seorang petani lebih produktip daripada ayah.Seorang buruh lebih punya jasa yang nyata.Ayah hanya bisa membuat peraturan.Ayah hanya bisa tunduk pada atasan.Ayah hanya bisa mendukung peraturan yang memisahkan rakyat dari penguasa.Ayah tidak produktip melainkan destruktip.Namun toh ayah mendapat gaji besar !Apakah ayah pernah memprotes ketidakadilan ?tidak pernah, bukan ?Terlalu beresiko, bukan ?Apakah aku harus mencontoh ayah ?Sikap hidup ayah adalah pendidikan buruk bagi jiwaku.Ayah dan ibu, selamat tinggal.Daya hidupku menolak untuk tidak berdaya.
    Puisi 33 : Sajak Sebotol Bir (W.S. Rendra) Pejambon, 23 Juni 1977
    Menenggak bir sebotol,menatap dunia,dan melihat orang-orang kelaparan.Membakar dupa,mencium bumi,dan mendengar derap huru-hara.Hiburan kota besar dalam semalam,sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa !Peradaban apakah yang kita pertahankan ?Mengapa kita membangun kota metropolitan ?dan alpa terhadap peradaban di desa ?Kenapa pembangunan menjurus kepada penumpukan,dan tidak kepada pengedaran ?Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri,Tapi tumbuh dari kebutuhan negara industri asingakan pasaran dan sumber pengadaan bahan alamKota metropolitan di sini,adalah sarana penumpukan bagi Eropa, Jepang, Cina, Amerika,Australia, dan negara industri lainnya.Dimanakah jalan lalu lintas yang dulu ?Yang neghubungkan desa-desa dengan desa-desa ?Kini telah terlantarkan.Menjadi selokan atau kubangan.Jalanlalu lintas masa kini,mewarisi pola rencana penjajah tempo dulu,adalah alat penyaluran barang-barang asing daripelabuhan ke kabupaten-kabupaten danbahan alam dari kabupaten-kabupaten ke pelabuhan.Jalan lalu lintas yang diciptakan khusus,tidak untuk petani,tetapi untuk pedagang perantara dan cukong-cukong.Kini hanyut di dalam arus peradaban yang tidak kita kuasai.Di mana kita hanya mampu berak dan makan,tanpa ada daya untuk menciptakan.Apakah kita akan berhenti saampai di sini ?Apakah semua negara yang ingin maju harus menjadi negara industri ?Apakah kita bermimpi untuk punya pabrik-pabrikyang tidak berhenti-hentinya menghasilkan­­..harus senantiasa menghasilkan­.Dan akhirnya memaksa negara lainuntuk menjadi pasaran barang-barang kita ?­­­­­­­Apakah pilihan lain dari industri hanya pariwisata ?Apakah pemikiran ekonomi kitahanya menetek pada komunisme dan kapitalisme ?Kenapa lingkungan kita sendiri tidak dikira ?Apakah kita akan hanyut sajadi dalam kekuatan penumpukanyang menyebarkan pencemaran dan penggerogosanterhadap alam di luar dan alam di dalam diri manusia ?­­­­­­­.Kita telah dikuasai satu mimpiuntuk menjadi orang lain.Kita telah menjadi asingdi tanah leluhur sendiri.Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi,dan menghamba ke Jakarta.Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpidan menghamba kepada Jepang, Eropa, atau Amerika.
    Puisi 34 : Sajak Tangan (W.S. Rendra) TIM, 3 Juli 1977
    Inilah tangan seorang mahasiswa,tingkat sarjana muda.Tanganku. Astaga.Tanganku menggapai,yang terpegang anderox hostes berumbai,Aku bego. Tanganku lunglai.Tanganku mengetuk pintu,tak ada jawaban.Aku tendang pintu,pintu terbuka.Di balik pintu ada lagi pintu.Dan selalu :ada tulisan jam bicarayang singkat batasnya.Aku masukkan tangan-tanganku ke celanadan aku keluar mengembara.Aku ditelan Indonesia Raya.Tangan di dalam kehidupanmuncul di depanku.Tanganku aku sodorkan.Nampak asing di antara tangan beribu.Aku bimbang akan masa depanku.Tangan petani yang berlumpur,tangan nelayan yang bergaram,aku jabat dalam tanganku.Tangan mereka penuh pergulatanTangan-tangan yang menghasilkan.Tanganku yang gamangtidak memecahkan persoalan.Tangan cukong,tangan pejabat,gemuk, luwes, dan sangat kuat.Tanganku yang gamang dicurigai,disikat.Tanganku mengepal.Ketika terbuka menjadi cakar.Aku meraih ke arah delapan penjuru.Di setiap meja kantorbercokol tentara atau orang tua.Di desa-desapara petani hanya buruh tuan tanah.Di pantai-pantaipara nelayan tidak punya kapal.Perdagangan berjalan tanpa swadaya.Politik hanya mengabdi pada cuaca­..Tanganku mengepal.Tetapi tembok batu didepanku.Hidupku tanpa masa depan.Kini aku kantongi tanganku.Aku berjalan mengembara.Aku akan menulis kata-kata kotordi meja rektor
    Puisi 35 : Sajak Mata-mata (W.S. Rendra) Hospital Rancabadak, Bandung, 28 Januari 1978
    Ada suara bising di bawah tanah.Ada suara gaduh di atas tanah.Ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah.Ada tangis tak menentu di tengah sawah.Dan, lho, ini di belakang sayaada tentara marah-marah.Apaa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.Aku melihat kilatan-kilatan api berkobar.Aku melihat isyarat-isyarat.Semua tidak jelas maknanya.Raut wajah yang sengsara, tak bisa bicara,menggangu pemandanganku.Apa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.Pendengaran dan penglihatanmenyesakkan perasaan,membuat keresahan Ini terjadi karena apa-apa yang terjaditerjadi tanpa kutahu telah terjadi.Aku tak tahu. Kamu tak tahu.Tak ada yang tahu.Betapa kita akan tahu,kalau koran-koran ditekan sensor,dan mimbar-mimbar yang bebas telah dikontrol.Koran-koran adalah penerusan mata kita.Kini sudah diganti mata yang resmi.Kita tidak lagi melihat kenyataan yang beragam.Kita hanya diberi gambara model keadaanyang sudah dijahit oleh penjahit resmi.Mata rakyat sudah dicabut.Rakyat meraba-raba di dalam kasak-kusuk.Mata pemerintah juga diancam bencana.Mata pemerintah memakai kacamata hitam.Terasing di belakang meja kekuasaan.Mata pemerintah yang sejatisudah diganti mata-mata.Barisan mata-mata mahal biayanya.Banyak makannya.Sukar diaturnya.Sedangkan laporannyamirp pandangan mata kuda keretayang dibatasi tudung mata.Dalam pandangan yang kabur,semua orang marah-marah.Rakyat marah, pemerinta marah,semua marah lantara tidak punya mata.Semua mata sudah disabotir.Mata yangbebas beredar hanyalah mata-mata.
    Puisi 36 : Sajak Kenalan Lamamu (W.S. Rendra) Yogyakarta, 21 Juni 1977
    Kini kita saling berpandangan saudara.Ragu-ragu apa pula,kita memang pernah berjumpa.Sambil berdiri di ambang pintu kereta api,tergencet oleh penumpang berjubel,Dari Yogya ke Jakarta,aku melihat kamu tidur di kolong bangku,
    dengan alas kertas koran,sambil memeluk satu anakmu,sementara istrimu meneteki bayinya,terbaring di sebelahmu.Pernah pula kita satu truk,duduk di atas kobis-kobis berbau sampah,sambil meremasi tetek tengkulak sayur,dan lalu sama-sama kaget,ketika truk tiba-tiba terhentikerna distop oleh polisi,yang menarik pungutan tidak resmi.Ya, saudara, kita sudah sering berjumpa,kerna sama-sama anak jalan raya.­­­­­­­Hidup macam apa ini !Orang-orang dipindah kesana ke mari.Bukan dari tujuan ke tujuan.Tapi dari keadaan ke keadaan yang tanpa perubahan.­­­­­­.Kini kita bersandingan, saudara.Kamu kenal bau bajuku.Jangan kamu ragu-ragu,kita memang pernah bertemu.Waktu itu hujan rinai.Aku menarik sehelai plastik dari tong sampahtepat pada waktu kamu juga menariknya.Kita saling berpandangan.Kamu menggendong anak kecil di punggungmu.Aku membuka mulut,hendak berkata sesuatu­­­..Tak sempat !Lebih dulu tinjumu melayang ke daguku­..Dalam pandangan mata berkunang-kunang,aku melihat kamumembawa helaian plastik ituke satu gubuk karton.Kamu lapiskan ke atap gubugmu,dan lalu kamu masuk dengan anakmu­..Sebungkus nasi yang dicuri,itulah santapan.Kolong kios buku di terminalitulah peraduan.Ya, saudara-saudara, kita sama-sama kenal ini,karena kita anak jadah bangsa yang mulia.­­­­­­Hidup macam apa hidup ini.Di taman yang gelap orang menjual badan,agar mulutnya tersumpal makan.Di hotel yang mewah istri guru menjual badanagar pantatnya diganjal sedan.­­­­­..Duabelas pasang payudara gemerlapan,bertatahkan intan permata di sekitar putingnya.Dan di bawah semuanya,celana dalam sutera warna kesumba.Ya, saudara,Kita sama-sama tertawa mengenang ini semua.Ragu-ragu apa pulakita memang pernah berjumpa.Kita telah menyaksikan,betapa para pembesarmenjilati selangkang wanita,sambil kepalanya diguyur anggur.Ya, kita sama-sama germo,yang menjahitkan jas di Singapuramencat rambut di pangkuan bintang film,main golf, main mahyong,dan makan kepiting saus tiram di restoran terhormat.­­­­..Hidup dalam khayalan,hidup dalam kenyataan­­tak ada bedanya.Kerna khayalan dinyatakan,dan kenyataan dikhayalkan,di dalam peradaban fatamorgana.­­­­­.Ayo, jangan lagi sangsi,kamu kenal suara batukku.Kamu lihat lagi gayaku meludah di trotoar.Ya, memang aku. Temanmu dulu.Kita telah sama-sama mencuri mobil ayahmubergiliran meniduri gula-gulanya,dan mengintip ibumu main serongdengan ajudan ayahmu.Kita telah sama-sama beli morphin dari guru kita.Menenggak valium yang disediakan oleh dokter untuk ibumu,dan akhirnya menggeletak di emper tiko,di samping kere di Malioboro.Kita alami semua ini,kerna kita putra-putra dewa di dalam masyarakat kita.­­­­­­..Hidup melayang-layang.Selangit,melayang-layang.Kekuasaan mendukung kita serupa ganja­meninggi­­­..Ke awan­­­.Peraturan dan hukuman,kitalah yang empunya.Kita tulis dengan keringat di ketiak,di atas sol sepatu kita.Kitalah gelandangan kaya,yang perlu meyakinkan diridengan pembunuhan.­­­­­­..Saudara-saudara, kita sekarang berjabatan.Kini kita bertemu lagi.Ya, jangan kamu ragu-ragu,kita memang pernah bertemu.Bukankah tadi telah kamu kenalbetapa derap langkahku ?Kita dulu pernah menyetop lalu lintas,membakari mobil-mobil,melambaikan poster-poster,dan berderap maju, berdemonstrasi.Kita telah sama-sama merancang strategidi panti pijit dan restoran.Dengan arloji emas,secara teliti kita susun jadwal waktu.Bergadang, berunding di larut kelam,sambil mendekap hostess di kelab malam.Kerna begitulah gaya pemuda harapan bangsa.Politik adalah cara merampok dunia.Politk adalah cara menggulingkan kekuasaan,untuk menikmati giliran berkuasa.Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan.dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadilalu ke mobil sport, lalu : helikopter !Politik adalah festival dan pekan olah raga.Politik adalah wadah kegiatan kesenian.Dan bila ada orang banyak bacot,kita cap ia sok pahlawan.­­­­­­­.Dimanakah kunang-kunag di malam hari ?Dimanakah trompah kayu di muka pintu ?Di hari-hari yang berat,aku cari kacamataku,dan tidak ketemu.­­­­..Ya, inilah aku ini !Jangan lagi sangsi !Inilah bau ketiakku.Inilah suara batukku.Kamu telah menjamahku,jangan lagi kamu ragau.Kita telah sama-sama berdiri di sini,melihat bianglala berubah menjadi lidah-lidah api,gunung yang kelabu membara,kapal terbang pribadi di antara mega-mega meneteskan air manidi putar blue-film di dalamnya.­­­­­.Kekayaan melimpah.Kemiskinan melimpah.Darah melimpah.Ludah menyembur dan melimpah.Waktu melanda dan melimpah.Lalu muncullah banjir suara.Suara-suara di kolong meja.Suara-suara di dalam lacu.Suara-suara di dalam pici.Dan akhirnyadunia terbakar oleh tatawarna,Warna-warna nilon dan plastik.Warna-warna seribu warna.Tidak luntur semuanya.Ya, kita telah sama-sama menjadi saksidari suatu kejadian,yang kita tidak tahu apa-apa,namun lahir dari perbuatan kita.
    Puisi 37 : Sajak Burung-burung Kondor (W.S. Rendra) Yogya, 1973
    Angin gunung turun merembes ke hutan,lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.Kemudian hatinya pilumelihat jejak-jejak sedih para petani buruhyang terpacak di atas tanah gemburnamun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.Para tani buruh bekerja,berumah di gubug-gubug tanpa jendela,menanam bibit di tanah yang subur,memanen hasil yang berlimpah dan makmurnamun hidup mereka sendiri sengsara.Mereka memanen untuk tuan tanahyang mempunyai istana indah.Keringat mereka menjadi emasyang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,dan menjawab dengan mengirim kondom.Penderitaan mengalirdari parit-parit wajah rakyatku.Dari pagi sampai sore,rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,menggapai-gapai,menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,di dalam usaha tak menentu.Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.Beribu-ribu burung kondor,berjuta-juta burung kondor,bergerak menuju ke gunung tinggi,dan disana mendapat hiburan dari sepi.Karena hanya sepimampu menghisap dendam dan sakit hati.
    Burung-burung kondor menjerit.Di dalam marah menjerit,bergema di tempat-tempat yang sepi.Burung-burung kondor menjeritdi batu-batu gunung menjeritbergema di tempat-tempat yang sepiBerjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,mematuki batu-batu, mematuki udara,dan di kota orang-orang„ bersiap menembaknya.
    Puisi 38 : Sajak Bulan Purnama (W.S. Rendra) Yogya, 22 Oktober 1976
    Bulan terbit dari lautan.Rambutnya yang tergerai ia kibaskan.Dan menjelang malam,wajahnya yang bundar,menyinari gubug-gubug kaum gelandangankota Jakarta.Langit sangat cerah.Para pencuri bermain gitar.dan kaum pelacur naik penghasilannya.Malam yang permaianugerah bagi sopir taksi.Pertanda nasib baikbagi tukang kopi di kaki lima.Bulan purnama duduk di sanggul babu.Dan cahayanya yang kemilaumembuat tuannya gemetaran.kemari, kamu ! kata tuannyaTidak, tuan, aku takut nyonya !Karena sudah penasaran,oleh cahaya rembulan,maka tuannya bertindak masuk dapurdan langsung menerkamnyaBulan purnama raya masuk ke perut babu.Lalu naik ke ubun-ubunmenjadi mimpi yang gemilang.Menjelang pukul dua,rembulan turun di jalan raya,dengan rok satin putih,dan parfum yang tajam baunya.Ia disambar petugas keamanan,lalu disuguhkan pada tamu negarayang haus akan hiburan.
    Puisi 39 : Nota Bene (W.S. Rendra) Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978
    Lunglai ganas karena bahagia dan sedih,indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana.Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit,dan anak kita akan lahir di cakrawala.Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandananuntukmu hidupku terbuka.Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkanIsyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku.Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamuaku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan.
    Puisi 40 : Hai, Kamu! (W.S. Rendra) Jakarta, 29 Pebruari 1978
    Luka-luka di dalam lembaga,intaian keangkuhan kekerdilan jiwa,noda di dalam pergaulan antar manusia,duduk di dalam kemacetan angan-angan.Aku berontak dengan memandang cakrawala.Jari-jari waktu menggamitku.Aku menyimak kepada arus kali.Lagu margasatwa agak mereda.Indahnya ketenangan turun ke hatiku.Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku.
    Puisi 41 : Sajak Pulau Bali (W.S. Rendra) Pejambon, 23 Juni 1977.
    Sebab percaya akan keampuhan 0„ 2 industridan yakin bisa memupuk modal nasionaldari kesenian dan keindahan alam,maka Bali menjadi obyek pariwisata.
    Betapapun :tanpa basa-basi keyakinan seperti itu,Bali harus dibuka untuk pariwisata.Sebab :pesawat-pesawat terbang jet sudah dibikin,dan maskapai penerbangan harus berjalan.Harus ada orang-orang untuk diangkut.Harus diciptakan tempat tujuan untuk dijual.
    Dan waktu senggang manusia,serta masa berlibur untuk keluarga,harus bisa direbut oleh maskapaiuntuk diindustrikan.
    Dan Bali,dengan segenap kesenian,kebudayaan, dan alamnya,harus bisa diringkaskan,untuk dibungkus dalam kertas kado,dan disuguhkan pada pelancong.
    Pesawat terbang jet di tepi rimba Brazilia,di muka perkemahan kaum Badui,di sisi mana pun yang tak terduga,lebih mendadak dari mimpi,merupakan kejutan kebudayaan.
    Inilah satu kekuasaan baru.Begitu cepat hingga kita terkesiap.Begitu lihai sehingga kita terkesima.
    Dan sementara kita bengong,pesawat terbang jet yang muncul dari mimipi,membawa bentuk kekuatan modalnya :lapangan terbang. hotel bistik dan coca cola,jalan raya, dan para pelancong.
    Oh, look, honey dear !Lihat orang-orang pribumi itu!Mereka memanjat pohon kelapa seperti kera.Fantastic ! Kita harus memotretnya !­­­­­­­­­­..Awas ! Jangan dijabat tangannya !senyum saja and say hello.You see, tangannya kotorSiapa tahu ada telor cacing di situ.­­­­­­­­.My God, alangkah murninya mereka.Ia tidak menutupi teteknya !Look, John, ini benar-benar tetek.Lihat yang ini ! O, sempurna !Mereka bebas dan spontan.Aku ingin seperti mereka­..Eh, maksudku­..Okey ! Okey !­.Ini hanya pengandaian saja.Aku tahu kamu melarang aku tanpa beha.Look, now, John, jangan cemberut !Berdirilah di sampingnya,aku potret di sini.Ah ! Fabolous !
    Dan Bank Duniaselalu tertarik membantu negara miskinuntuk membuat proyek raksasa.Artinya : yang 90 % dari bahannya harus diimpor.
    Dan kemajuan kitaadalah kemajuan budakatau kemajuan penyalur dan pemakai.
    Maka di Balihotel-hotel pribumi bangkrutdigencet oleh packaged tour.
    Kebudayaan rakyat ternodadigencet standar dagang internasional.
    Tari-tarian bukan lagi satu mantra,tetapi hanya sekedar tontonan hiburan.Pahatan dan ukiran 0„ 2 bukan lagi ungkapan jiwa,tetapi hanya sekedar kerajinan tangan.
    Hidup dikuasai kehendak manusia,tanpa menyimak jalannya alam.Kekuasaan kemauan manusia,yang dilembagakan dengan kuat,tidak mengacuhkan naluri ginjal,hati, empedu, sungai, dan hutan.Di Bali :pantai, gunung, tempat tidur dan pura,telah dicemarkan
    Sumber Puisi : Penyair Terkenal
    Bagikan

    Posting Lebih BaruPosting LamaBerandaIklan Bawah Artikel
    Artikel Populer
    * 41+ Kumpulan Puisi Karya W.S. Rendra yang Melegenda
    * 40+ Puisi Kehidupan Penuh Makna dan Harapan Penyemangat Hidup
    * 31+ Contoh Puisi Islami Menyentuh Hati dan Jiwa
    * 35+ Contoh Puisi Ulang Tahun Menyentuh Hati Untuk Pacar, Sahabat, Bunda




    LihatTutupKomentar